Person centered therapy
Teori yang berpusat pada klien
terlihat sederhana dari segi teori, namun ternyata cukup sulit dalam
praktiknya. Pendekatan yang berpusat pada klien berpandangan bahwa untuk
orang-orang yang rentan atau cemas, akan dapat berkembang secara psikologis
apabila bertemu dengan terapis yang kongruen dan yang mereka rasakan sebagai
orang yang mampu memberikan nuansa
penerimaan tidak bersyarat dan empati yang akurat. Namun, disanalah letak
kesulitannya. Kualitas dari kongruensi, penerimaan postif tidak bersyarat, dan
pengertian secara empati tidak mudah dimiliki seorang konselor.
Perkembangan Person-Centered Therapy
Person-centered
therapy mengalami beberapa fase perkembangan, yaitu :
1. Konseling
Nondirektif yang dimulai sekitar pada tahun 1940 , kemudian dikembangkan oleh
Rogers sebagai metode terapi konseling tradisional.
2. Client-centered
therapy yang berkembang sekitar tahun 1950. Ciri utamanya adalah mengubah
pendekatan yang digunakan oleh Rogers, dari teknik pendekatan non direktif,
menjadi menghormati kemampuan konseli untuk menjalankan proses konseling
3. Person-centered therapy yang
brkembang selama tahun 1960, Rogers lebih menekankan konselingnya pada
perkembangan diri, sehingga model konselingnya ia ubah menjadi model konseling
person-centered therapy.
Rogers mengasumsikan bahwa agar
suatu perkembangan terapeutik dapat terjadi maka harus memperhatikan beberapa
hal berikut ini, yaitu
1. Kondisi
Beberapa
kondisi yang dianggap diperlukan adalah
a. Klien
yang cemas harus bertemu dengan terapis yang kongruen, memiliki empati, serta
mampu menerima klien secara positif tanpa syarat apapun.
b. Klien
harus mampu melihat bahw terapis yang menanganinya adalah terapis yang
kongruen, memiliki empati serta menerimanya tanpa syarat.
c. Harus
terdapat duarsi tertentu dalam pertemuan antara klien dan terapis.
2. Kongruensi
konselor
Kongruensi
dapat terjadi apabila pengalaman organismik seseorang sejalan dengan kesadaran
atas pengalaman tersebut, serta dengan kemampuan dan keinginan untuk secara
terbuka mengeksperesikan perasaan tersebut. Konselor yang kongruen tidak hanya
seorang yang baik hati dan ramah, namun juga seorang indvidu yang memiliki
perasaan –perasaan bahagia, marah, frustasi, bingung dan yang lainnya.
3. Penerimaan
positif tidak bersyarat
Penghargaan
postif adalah kebutuhan untuk disukai, dihargai serta diterima oleh orang lain.
Terapis dengan penerimaan positif tanpa syarat pada klien akan menunjukkan
kehangatan.
4. Mendengarkan
secara empati
empati
hadir saat konselor secara akurat dapat merasakan perasaan klien mereka dan
dapat mengkomunikasikan persepsi ini, supaya klien mengetahui bahwa orang lain
telah memasuki dunia perasaan tanpa prasangka, proyeksi ataupun evaluasi.
Tujuan Person Centered Therapy
1.
Membantu individu menemukan konsep dirinya sesuai
2.
Individu menerima pengalaman – pengalaman yang pernah
ia alami
3.
Individu lebih terbuka terhadap pengalamannya.
Refrensi :
-
Feist, Jess
& Gregory J, Fest. (2011). Teori kepribadian. Jakarta :
Salemba Humanika.
-
http://windadwifirlyana.blogspot.com/2013/03/person-centered-therapy-carl-rogers.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar