Rabu, 22 April 2015

Person centered therapy



Person centered therapy
            Teori yang berpusat pada klien terlihat sederhana dari segi teori, namun ternyata cukup sulit dalam praktiknya. Pendekatan yang berpusat pada klien berpandangan bahwa untuk orang-orang yang rentan atau cemas, akan dapat berkembang secara psikologis apabila bertemu dengan terapis yang kongruen dan yang mereka rasakan sebagai orang yang mampu  memberikan nuansa penerimaan tidak bersyarat dan empati yang akurat. Namun, disanalah letak kesulitannya. Kualitas dari kongruensi, penerimaan postif tidak bersyarat, dan pengertian secara empati tidak mudah dimiliki seorang konselor.
Perkembangan Person-Centered Therapy
Person-centered therapy mengalami beberapa fase perkembangan, yaitu :
1.     Konseling Nondirektif yang dimulai sekitar pada tahun 1940 , kemudian dikembangkan oleh Rogers sebagai metode terapi konseling tradisional.
2.     Client-centered therapy yang berkembang sekitar tahun 1950. Ciri utamanya adalah mengubah pendekatan yang digunakan oleh Rogers, dari teknik pendekatan non direktif, menjadi menghormati kemampuan konseli untuk menjalankan proses konseling
3.      Person-centered therapy yang brkembang selama tahun 1960, Rogers lebih menekankan konselingnya pada perkembangan diri, sehingga model konselingnya ia ubah menjadi model konseling person-centered therapy.

            Rogers mengasumsikan bahwa agar suatu perkembangan terapeutik dapat terjadi maka harus memperhatikan beberapa hal berikut ini, yaitu
1.     Kondisi
Beberapa kondisi yang dianggap diperlukan adalah
a.      Klien yang cemas harus bertemu dengan terapis yang kongruen, memiliki empati, serta mampu menerima klien secara positif tanpa syarat apapun.
b.     Klien harus mampu melihat bahw terapis yang menanganinya adalah terapis yang kongruen, memiliki empati serta menerimanya tanpa syarat.
c.      Harus terdapat duarsi tertentu dalam pertemuan antara klien dan terapis.
2.     Kongruensi konselor
Kongruensi dapat terjadi apabila pengalaman organismik seseorang sejalan dengan kesadaran atas pengalaman tersebut, serta dengan kemampuan dan keinginan untuk secara terbuka mengeksperesikan perasaan tersebut. Konselor yang kongruen tidak hanya seorang yang baik hati dan ramah, namun juga seorang indvidu yang memiliki perasaan –perasaan bahagia, marah, frustasi, bingung dan yang lainnya.
3.     Penerimaan positif tidak bersyarat
Penghargaan postif adalah kebutuhan untuk disukai, dihargai serta diterima oleh orang lain. Terapis dengan penerimaan positif tanpa syarat pada klien akan menunjukkan kehangatan.
4.     Mendengarkan secara empati
empati hadir saat konselor secara akurat dapat merasakan perasaan klien mereka dan dapat mengkomunikasikan persepsi ini, supaya klien mengetahui bahwa orang lain telah memasuki dunia perasaan tanpa prasangka, proyeksi ataupun evaluasi.
Tujuan Person Centered Therapy
1.     Membantu individu menemukan konsep dirinya sesuai
2.     Individu menerima pengalaman – pengalaman yang pernah ia alami
3.     Individu lebih terbuka terhadap pengalamannya.

Refrensi :
-        Feist, Jess  & Gregory J, Fest. (2011). Teori kepribadian. Jakarta : Salemba Humanika.
-        http://windadwifirlyana.blogspot.com/2013/03/person-centered-therapy-carl-rogers.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar